26 Siswa Pasaman Dipaksa Gurunya Injak Al Quran
perisai.net
Informasi yang dihimpun Padang Ekspres, kejadian ini berawal dari rasa tidak senang oknum guru tersebut karena diejek siswa. Namun, hukumannya di luar kewajaran. Guru yang tak terpuji itu menghukum siswa dengan menginjak Al-Quran, Rabu (18/1).
Dalam sekejap, informasi itu dengan cepat tersiar luas, bahkan sampai ke telinga DPRD Pasaman dan Disdik Pasaman. Kepala Dinas Pendidikan Pasaman, Khairil Anwar membenarkan informasi tersebut.
Menindaklanjuti itu, sore kemarin (20/1), Kadisdik dan anggota DPRD dapil Bonjol mendatangi SMA tersebut untuk klarifikasi. Selain melakukan pertemuan dengan siswa, Disdik juga melaksanakan pertemuan dengan wali murid siswa yang dihukum tersebut. “Guru tersebut telah meminta maaf secara langsung,” jelas Khairil.
Tindakan tegas telah diberikan kepada oknum guru tersebut. Kemarin, SW telah dinonaktifkan mengajar dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. “Proses selanjutnya belum dapat kita pastikan. Namun yang jelas, untuk sementara, dia telah dinonaktifkan,” ujarnya.
Irwan Arifin, anggota DPRD asal Bonjol, dalam kunjungan ke SMA tersebut, mengutuk keras aksi dan tindakan tak terpuji SW. “Kita minta yang bersangkutan diberikan sanksi tegas. Ini telah melukai dan mencederai hati dan akidah umat,” tegasnya.
Tak Boleh Dibiarkan
Sejumlah pihak mengecam dugaan tindakan tak wajar guru “SW” tersebut. Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof Prayitno, menilai perbuatan guru itu sudah sangat keterlaluan. Sebagai pendidik, mestinya guru mengayomi anak didiknya. Bukan malah berlaku sebaliknya.
Menurut Dosen Pascasarjana UNP itu, selain menyalahi moral, perbuatan guru tersebut juga menghina agama Islam. “Yang pasti, tindakan guru ini tidak boleh dibiarkan,” tegas Prayitno.
Guru harus sadar dengan posisinya. Posisi sebagai orang yang dicontoh. Untuk itu, guru harus mampu memberi contoh baik bukan malah memberi contoh yang buruk. Guru punya tanggung jawab memperbaiki perilaku anak dengan cara-cara yang mendidik. Bukan dengan cara-cara yang tidak mendidik serta tindakan kekerasan. “Pihak terkait harus memberikan peringatan keras agar guru ini sadar dan tidak mengulang lagi perbuatannya,” tukasnya.
Syarat mutlak menjadi pendidik selain mempunyai kecerdasan tinggi, juga harus bisa berkomunikasi dengan anak didik. “Setiap lembaga pendidikan harus memperhatikan syarat-syarat ini. Kita tak ingin kejadian serupa terulang lagi,” tuturnya.
Hal senada juga dikatakan Ketua Majelis Dakwah MUI Sumbar, Duski Samad. “Masya Allah,” ujar Duski. Hal ini disebabkan ekses tidak baiknya proses seleksi (rekruitmen) guru.
“Selama ini, orientasinya hanya uang. Ketika rekruitmen sudah salah, output nya pun tidak benar. Guru itu semestinya orang-orang terpilih, bukan orang yang hanya berorientasi pada uang,” tegas Duski.
Kedua, penyebabnya karena adanya degradasi dari pembentukan pribadi (internalisasi) dari seseorang sebagai bagian dari masyarakat yang memilih profesi guru.
Selain faktor internal dan eksternal, juga disebabkan lemahnya faktor pengawasan, walau selama ini perangkat pengawasan itu sudah dimulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi. Namun demikian, pengawasan ini masih belum berjalan maksimal.
“Pengawasan ini belum berjalan menyuluruh,” jelas Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang itu.
Ke depan, perlu tindakan pembinaan berkelanjutan. Ada sanksi tegas ketika seorang guru bersalah, dan ada penghargaan ketika seorang guru mendapat prestasi.
“Penegakan disiplin juga harus ditingkatkan. Dinas terkait harus memperkuat komitmennya dalam bekerja. Jangan cepat puas, terus melakukan pembenahan,” pungkasnya.